Minggu, 29 November 2009

DIMENSI IKHLAS

Yang Bapak Ajukan …sekian, setelah dipotong biaya administrasi…sekian. Jadi kewajiban Bapak perbulan sekian… selama 24 bulan, Uangnya nanti bisa Bapak ambil di bagian teller…
Sudah mengerti semuanya pak ? Baiklah kalau sudah mengerti. Emmh…untuk masalah rasa terima kasih kepada pihak kami tidak ditentukan berapa…, “yang penting ikhlas”. Itulah kalimat penutup dari seorang pimpinan bank ketika saya mengajukan kredit pada salah satu Bank Pemerintah di Kota Kecamatan.

Ada yang menarik dari petikan kalimat diatas, sepintas mungkin merupakan hal yang lumrah terjadi pada Birokrasi negeri ini yang sudah terbiasa dengan budaya ‘meminta upah terhadap orang-orang yang memerlukan jasanya’ meskipun sudah mendapat gaji untuk pekerjaannya.

Ada satu penekanan terhadap kata ikhlas diatas. Di satu sisi mengingatkan pada nasabah bahwa ada biaya lain selain biaya administrasi yang (harus) dibayar oleh nasabah karena jasa yang diberikan atau lebih khusus lagi karena pelayanan yang (merasa) ramah dari para pegawai mulai survey, pemeriksaan berkas, sampai tanda tangan pimpinan.
Sementara di sisi lain, nasabah didorong untuk lillah (karena Alloh) sebab diluar aturan yang resmi. Pimpinan tersebut terkesan tidak mau ada sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari baik secara sosial, hukum, maupun secara spiritual (agama).
Bahkan ikhlas direkayasa dan digiring supaya ada kesan bahwa orang-orang yang terlibat adalah orang-orang yang shaleh. Dan mereka ingin memperlihatkan bahwa mereka juga orang-orang yang mengerti agama, hanya saja ada kekuatan lain yang mendorongnya melakukan hal itu seperti harus menyetor upeti kepada yang telah mengangkatnya sebagai pimpinan, atau dorongan dari istri yang mempunyai gaya hidup konsumerisme.

Banyak contoh dalam perekayasaan ikhlas, seperti halnya ketika saya melegalisir Akte Kelahiran pada salah satu Instansi Pemerintah untuk suatu keperluan.
Dalam antrian…, di depan saya ada seorang Ibu dengan maksud yang sama melegalisir.
Saat Ibu itu menerima Akte yang sudah dilegalisir, dia sepertinya bertanya kepada pegawai yang memberikannya. Dan Ibu itupun mengeluarkan uang Rp. 5000, kemudian diberikan kepada pegawai (sebagai Pelayan Masyarakat) itu sambil mengucapkan terima kasih. Sayangnya sikap pegawai (Abdi Masyarakat) tersebut kurang baik, tidak menjawab, menganggukpun tidak, bahkan raut wajahnya kelihatan kecut atau judes.
Tiba giliran. Saya bertanya pada pegawai tersebut seperti Ibu yang di depan saya tadi.
“Berapa Bu, saya harus membayar ?”
“Gratis Pak, kalau untuk kami seikhlasnya”.
Saya pun memberikan uang Rp. 20.000,-
Pegawai tersebut mengangguk sambil tersenyum. Dia lebih dulu mengucapkan terima kasih pada saya. Sikap yang asalnya kecut pun berubah menjadi sopan.
Sambil pulang saya pun berpikir ternyata kata seikhlasnya untuk pegawai (Abdi Negara) tersebut hanya perekayasaan kesan, atau mungkin juga ikhlas itu selisih dari nilai uang.
Sebetulnya masih banyak contoh lain tidak hanya pada birokrasi pemerintahan tapi sudah membudaya dan menjalar pada semua segi kehidupan.

Ikhlas pada dasarnya niat yang tulus. Sebagian orang sering menafsirkan ikhlas secara salah. Ikhlas yang terdiri dari sikap syukur, sabar, niat yang bersih justru dianggap sebagai sikap yang lemah, sehingga dijadikan sebagai objek dalam mencari keuntungan (dijadikan usaha).
Segala amal perbuatan tergantung niatnya. Dalam kehidupan sehari-hari , niat dapat membedakan amal saleh dan amal salah.

Ikhlas adalah sikap yang hanya mengharapkan keridhoan Allah semata, tidak menyekutukan dengan sesuatupun. Syarat utama diterimanya suatu amal adalah ikhlas . Allah memerintahkan kepada manusia untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh keikhlasan, sebagaimana firman-Nya dalam QS al-Zumar (39):11-12, yang artinya :
Katakanlah, “ sesungguhnya aku diperintahkan untuk menyembah Allah dengan mengakhlaskan ibadah kepada-Nya dan aku diperintah agar menjadi orang pertama orang-orang islam”.

Sabtu, 03 Oktober 2009

DAYA KEMAUAN

Ada yang membuat saya tersenyum ketika ingat pengalaman masa lalu saat berpacaran, waktu itu saya bekerja pada suatu proyek terowongan di daerah pegunungan sebagai pengawas. Jarak dari proyek ke jalan raya saja sekitar 15 Km naik ojek lewat pesawahan dan jalan kampung dari bebatuan dan tanah, kemudian naik Bus Antar Kota Antar Propinsi dengan menempuh jarak kl. 55 Km untuk menemui sang Pacar.
Anehnya, meskipun waktu sudah siang hari, jaraknya jauh dan banyak hambatan yang dilalui, setiap akhir pekan selalu berusaha untuk berkunjung ke rumah sang pacar walaupun hanya menyisakan waktu setengah jam dalam kunjungan, bahkan tidak terasa lelah meskipun harus bolak-balik perjalanan. Bahkan dalam satu pekan dua kali berkunjung pun tidak masalah.

Ini menunjukan bahwa ada “energi” yang luar biasa pada diri manusia ketika bathinnya tersentuh oleh suatu kondisi yang mampu menggugah “daya kemauan”. Daya kemauan yang dapat memberikan semangat untuk mencapainya.

Seorang kuli bangunan bercerita ketika mendapat khabar istrinya melahirkan . Tanpa uang sepeserpun karena kecopetan di Terminal pada waktu akan pulang, Dia sanggup berjalan kaki dari Jakarta ke Bandung tanpa istrirahat hanya berbekal sebotol air mineral dalam tas.
Contoh ini juga menunjukan bahwa manusia mempunyai daya tahan tubuh yang luar biasa manakala keadaan memaksa serta didorong oleh daya kemauan. Kemauan yang keras akan menimbulkan tenaga yang berlipat.

Mengapa hal-hal yang luar biasa tersebut mampu dilakukan oleh manusia? Jawabnya adalah karena daya kemauan tersebut. Kita dapat memanfaatkan energi-energi ekstra tersebut setiap saat untuk hal-hal yang lebih positif. Kita bisa melatih dan berusaha dalam mendayagunakannya untuk melakukan perubahan dalam kehidupan.

Kadang-kadang terdapat usaha mempertahankan diri yang akan melawan kemauan karena ketidakmampuan atau karena kurangnya kecerdasan akademis (IQ), tetapi apabila terus mencoba, selalu yakin, dan berusaha berubah untuk mencapai tujuan tersebut, kita akan menemukan beberapa kemungkinan yang dapat mengubah ketidakmampuan dan juga mendapatkan hasil dari perubahan tersebut.
Bahkan menurut sebuah penelitian, IQ menyumbang paling banyak 20 % bagi kesuksesan hidup seseorang, sementara 80 % nya lagi ditentukan oleh kecerdasan emosi.

Memang tidak sedikit orang yang gagal dalam mencapai apa yang diinginkan. Masalahnya adalah karena tidak yakin akan diri sendiri, tidak yakin bahwa dirinya mampu melakukannya, kurang gigih dalam mencoba mendapatkannya. Mereka mungkin telah menetapkan tujuan namun hanya setengah hati dalam berusaha mencapainya, sehingga hasilnyapun akan setengah-setengah atau mungkin tidak menghasilkan sama sekali.
Sebaliknya, orang yang mempunyai tujuan yang jelas dan tetap berpegang teguh menjalaninya, ia sanggup melewati segala macam hambatan.

Kunci dari semua itu adalah apabila kita mempunyai kemauan yang kuat dan mengenali kekuatan dalam diri sendiri, kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan dan mampu mengalahkan segala rintangan yang menghalangi.
Amiiin…..