Minggu, 23 Agustus 2009

ENERGI CINTA

Cinta mempunyai banyak arti. Bagi sebagian orang cinta adalah sumber inspirasi, sumber imajinasi, bahkan sumber energi untuk mencapai mimpi.
Dengan cinta hidup terasa nikmat. Dengan cinta hidup punya semangat. Cinta akan membuat kita bahagia. Cinta harus selalu ada dan tumbuh dalam menjalani kehidupan. Mbah Surip meski usiannya sudah kepala enam, tapi masih terus bersemangat dalam menghasilkan karyanya. Kita tidak akan ragu mengatakan bahwa dia menikmati dunianya, dia bekerja dengan cinta.

Kalo ke Bandung, keluar pintu tol Pasteur mau masuk ke Bandara Husein, setiap pagi depan Pos Penjagaan, kita bisa melihat seorang pensiunan yang selalu mengatur kendaraan yang keluar masuk melewati Markas Angkatan Udara, Bahkan setelah penjaga pintu sudah masuk pos penjagaannya . Karena kecintaannya terhadap tempat asal ia bekerja, dia tak mengharap/ menerima tips dari setiap kendaraan yang keluar masuk tersebut.
Atau supporter sepakbola (Bobotoh Persib) yang beramai-ramai akan mengumpulkan uang sumbangannya ketika tim kesayangannya tidak mampu ikut kompetisi karena kekurangan biaya.

Cinta memang bisa datang dari mana saja, tidak mengenal latar belakang, pendidikan, usia. Cinta datang dari rasa dan hati. Jadi yang paling memahami cinta adalah orang yang menjalani. Kalau mereka punya cinta seperti itu, bagaimana dengan kita ? Seberapa besar kita mencintai pekerjaan, profesi, atau usaha yang kita geluti ? Apakah kita hanya mencitai terhadap gajinya saja, untungnya saja, atau hanya sebagai antara sampai kita menemukan pekerjaan yang betul-betul cocok dengan hobi ?

Tidak perlu diadakan riset untuk hal itu. Kita cukup melihat bagaimana cara kita dalam melakukan pekerjaan kita sehari-hari.

Kalau seorang dokter ketika menerima pasien yang tak mampu (miskin) kurang begitu responsif, bahkan membeberkan dulu biaya yang harus dikeluarkan sebelum menangani pasien tersebut, berarti dia kurang mencintai profesinya.
Kalau Pegawai Negeri Sipil dengan seragamnya berkeliaran di Mall pada waktu jam kerja, berarti dia tidak mencintai pekerjaannya.
Kalau seorang pedagang ketika ada pelanggan yang menanyakan harga barang dagangannya pada waktu sedang ramai pengunjung ke tokonya tapi dia menjawab dengan ketus tanpa menoleh pelanggan tersebut, berarti dia tidak menikmati dan mencintai usahanya.
Dari sini kita bisa menilai sejauhmana kita mencintai pekerjaan tersebut.

Sebenarnya cinta itu bisa ditumbuhkan asalkan kita mampu menjalankan pekerjaan itu dengan hati yang ikhlas. Terbiasa dengan ikhlas akan menumbuhkan cinta. Ikhlas dalam menerima pekerjaan yang ditugaskan oleh atasan, ikhlas dalam melayani konsumen, ikhlas dalam menolong , ikhlas dalam menjalankan usaha.

Setiap pekerjaan yang didasarkan dengan keikhlasan adalah cermin dari pekerjaan yang dijalankan dengan cinta. Ketika cinta sudah melekat, maka akan ada kebahagian. Seberat apapun pekerjaan akan terasa ringan apabila dilandasi dengan cinta. Secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas pekerjaan, selalu berusaha melakukan yang terbaik dan insya Allah kemampuan berkarya dan berprestasi akan melejit, potensi diri akan berkembang. Disadari atau tidak, kita akan takjub melihat kemampuan yang berlipat ganda dari upaya mempersembahkan yang terbaik dalam kehidupan ini. Tentu saja hal ini akan membuat hidup kita jauh lebih mudah dan indah.

Ya ….. , cinta memang anugrah! Tapi cinta juga dapat diunggah ????

Minggu, 02 Agustus 2009

HARGA SUATU KARYA SENI

Mungkin ada diantara kita yang mengalami :
Bekerja 2 hari 2 malam + 1 hari merenung + seminggu konsultasi, untuk menghasilkan karya desain yang sesuai dengan keinginan klien. Tapi setelah selesai kita mendapat tawaran harga yang kejam, hanya pujian yang didapat dan kepuasan konsumen yang kita lihat. Itulah pengalaman saya ketika mendesain bangunan.

Dan itu juga kenyataan yang harus dihadapi. Tidak/belum semua orang menghargai desain atau seni dalam arti luas. Sementara di sisi lain tidak semua orang mampu mengapresiasikan desain (seni) sebagai ungkapan emosi dan sebagai buah dari perjalanan kreativitas. Hanya kalangan tertentu saya yang benar-benar memahami dan menghargainya dengan nilai layak... .

Mungkin para desainer atau pelaku bidang seni lainnya harus bersabar, karena keahlian di bidang ini penilaiannya masih relatif dan menggantung. Meskipun klien merasa terpuaskan tapi kalau masalah harga kadang penawarannya begitu kejam. Bahkan jauh dibawah pesaing yang pernah mengecewakan klien tersebut.

Yaaah..., untuk sementara ini yang harus dilakukan adalah ikhlas. Karena usaha yang dijalankan dengan ikhlas bukan perhitungan untung dan rugi melalui angka dan logika, tapi juga melibatkan hati. Tidak hanya keuntungan yang dicari tapi juga kepuasan, baik kepuasan diri maupun kepuasan konsumen.

Bukan...Bukan hal diatas yang saya maksud, karena "rezeki datangnya dari Allah". Tapi masalah penghargaan di bidang seni, yang lebih mengarah pada "selling art", artinya sudah terorientasikan sebagai profesi/pekerjaan. Yang dalam pengerjaannya memerlukan biaya; biaya untuk asisten, makan, transport, dll.

Harga suatu desain (seni) tidak ada patokan resminya. Pada dasarnya harga desain/seni pada umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya :
  • Tingkat kesulitan (model)
  • Ukuran (dlm bangunan lebih besar lebih murah harga permeternya)
  • Kuantitas
  • Daya yang dikerahkan (budget, time, transport, dll)
  • Keahlian (jam terbang), dan lain sebagainya.
Intinya untuk mengerjakannya ada biaya yang harus dikeluarkan. Sementara biaya yang dikeluarkan minimal harus sebanding dengan biaya yang diterima. Bukan atas nama hubungan, kenalan, kekeluargaan, promosi, dll.
Memang benar kita harus berbagi, betul juga kita harus memuaskan konsumen. Tapi usaha harus memikirkan alat dan penyusutannya, transport, waktu, dll.

Atau...., mungkinkah gaji asisten ditukar dengan yang namanya gotong-royong...?